Perjalanan
bangsa setelah 62 tahun menikmati kemerdekaan ini harus kita direnungi.
Di samping berbagai kemajuan pembangunan yang telah tercapai masih kita
lihat di depan mata beratnya tugas kita mensejahterakan rakyat. Masih
tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari ketimpangan ekonomi dan sosial
dalam masyarakat. Kota-kota besar berkembang secara terpusat sementara
desa-desa di pedalaman seakan tak tersentuh perkembangan zaman.
Pendidikan yang baik hanya dinikmati oleh mereka yang berekonomi kuat.
Masalah kemiskinan dan pengangguran kian bertambah berat. Contoh
sederhana dari kehidupan di perkotaan; menjamurnya para pengemis yang
sebagian besar terdiri dari anak-anak dan remaja, para pemuda memungut
“pajak” dari kendaraan yang berbelok, atau bermain musik ala kadarnya
untuk mendapat uang. Pedagang kaki lima bertambah banyak dan sulit
ditertibkan. Rumah-rumah kumuh tak layak huni tumbuh padat tak teratur,
lingkungan menjadi sulit dikendalikan dengan perencanaan. Jarang orang
bisa memikirkan tempat hidup yang ideal, tak terpikir untuk
memperhatikan flora dan fauna yang seharusnya hadir di lingkungan
sekitar. Orang-orang menghabiskan waktu duduk-duduk dan bermain di
setiap jengkal lahan di luar rumah mereka yang sempit. Tak ada
pekerjaan, tak ada kesempatan mengecap pendidikan, tak ada banyak
pilihan. Sementara gadis-gadis belia duduk mengobrol sambil menggendong
anak-anak mereka yang terlahir tanpa rencana matang. Berapa jumlah
mereka 10-20 tahun mendatang?
Selain
faktor klasik mental manusia yang menyebabkan banyak permasalahan
sosial ini, salah satu faktor penyebab yang cenderung diabaikan adalah
pertumbuhan jumlah penduduk yang terlalu cepat dan kurang terkendali.
Masalah
pertumbuhan penduduk di daerah padat di negeri ini sudah terpikirkan
sejak dahulu oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan membuat program
transmigrasi. Oleh pemerintah Republik Indonesia program transmigrasi
dilanjutkan, paralel dengan pengendalian angka kelahiran melalui program
Keluarga Berencana yang sekarang mengalami banyak kemunduran. Memang
sulit mengurangi angka kelahiran ini karena kita sendiri dilahirkan dari
masyarakat agraris yang biasa beranak banyak. Mitos "Banyak anak banyak
rezeki" dan "Rezeki ditangan Tuhan" masih banyak dianut. Ada pula
sekelompok masyarakat yang mengharamkan pemakaian alat kontrasepsi,
namun umumnya, pendidikan yang rendah dan ekonomi keluarga yang lemahlah
yang menjadi penyebab banyak orang tidak menempatkan penyediaan alat
kontrasepsi sebagai prioritas belanja rumahtangga, yang akhirnya karena
faktor non-teknis, terlahirlah banyak anak. Kini penduduk Indonesia
berjumlah lebih dari 235 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,3 %
pertahun. Dikatakan bahwa di negeri ini setiap lima menit terlahir
seorang bayi. Memang ada keuntungan diperoleh dari banyaknya jumlah
penduduk, yaitu; tersedianya angkatan kerja yang banyak dan murah,
tetapi dampaknya adalah perekonomian yang juga lemah yang kemudian
menjadi faktor sulitnya mencapai taraf hidup yang baik.
Bangsa
Indonesia masih termasuk masyarakat yang menikah di usia muda. Pada
usia 20 tahun wanita dianggap layak berkeluarga dan melahirkan anak.
Walaupun konsep "Dua Anak Cukup" bisa terlaksana, dalam kurun 60 tahun
bisa tercipta tiga generasi, bandingkan dengan penduduk Eropa yang
rata-rata melahirkan anak di usia 30 tahun, sehingga dalam waktu yang
sama hanya tercipta dua generasi. Karena itu pertumbuhan jumlah penduduk
di Indonesia masih jauh lebih cepat dibandingkan negara-negara maju.
Perlu dicatat bahwa usia 0 - 20 tahun adalah kelompok penduduk yang
bergantung secara finansial, sementara jumlah penduduk yang produktif
lebih sedikit, akibatnya beban ekonomi sangat tinggi.
Lingkungan
keluarga berpengaruh besar dalam membentuk intelektualita generasi
baru. Emansipasi kaum wanita di Eropa yang tinggi menyebabkan wanita
seperti halnya pria bersemangat memanfaatkan waktunya untuk terus
belajar dan bekerja, tanpa mengurangi tanggungjawab membesarkan dan
mendidik anak. Walau bila akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga dan
tak bekerja, wawasan dan pengetahuan yang dimiliki sang ibu cukup luas.
Jumlah anak umumnya direncanakan dengan matang, didukung ayah dan ibu
yang memiliki pengetahuan baik tentang tanggungjawab sosial dan
lingkungan alam. Sementara di Indonesia banyak wanita belia yang sudah
terlalu sibuk mengurus tiga-empat anak sekaligus dan hanya sedikit
sekali dari mereka yang berkesempatan melanjutkan pendidikan dan
menekuni profesi produktif.
Jumlah
penduduk yang besar ini pulalah yang menyulitkan pemerintah untuk
mewujudkan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan nasional, bila
masalah lain yang menyangkut hal-hal dasar dalam kehidupan rakyat belum
terpenuhi, seperti ketahanan pangan, kesehatan dan kestabilan ekonomi
nasional. Nyata terlihat, ketika dunia global bergerak cepat dengan
perkembangan yang revolusioner, sebagian besar rakyat Indonesia masih
memikirkan masalah yang sangat mendasar; "Mencari makan". Masyarakat
yang beruntung memiliki ekonomi yang cukup kuat tidak merasa hidup
miskin sehingga kemiskinan rakyat Indonesia bukanlah hal yang perlu
mereka pikirkan. Di sisi lain timpangnya akses untuk mendapat pendidikan
telah membuat sebagian besar rakyat indonesia terjerumus dalam
ketidakberpendidikan, mengantar menuju kebodohan massal yang enggan kita
akui.
Dari
segi mental-spiritual, agama mengajarkan kebajikan dalam hidup
bermasyarakat, namun masih sedikit individu penyebar ajaran agama yang
memiliki pemahaman dan wawasan luas mengenai kehidupan di sisi lain di
atas bumi sebagai perbandingan. Kebajikan yang diajarkan cenderung
mencakup nilai-nilai lokal yang sempit, dan karena peliknya masalah
ekonomi akhirnya nilai-nilai ini tidak dijalankan semestinya dalam
kehidupan sehari-hari. Rasanya komentar ini tidaklah berlebihan karena
selain dikenal sebagai bangsa yang religius, Indonesia juga menempati
posisi sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi serta salah satu
negara dengan Indeks Pembangunan Manusia terendah. Dan hebatnya, bangsa
kita tidak malu dengan predikat ini.
Belajar dari orang lain
Mari
menilik kehidupan di skandinavia (Norwegia, Swedia, Finlandia,
Estlandia, Denmark) yang dikenal sebagai negara-negara makmur.
Kemakmuran bukan dinilai dari berapa uang atau materi yang dimiliki
melainkan dari stabilnya sistem jaminan sosial yang merata bagi seluruh
warganegaranya. Finlandia berpenduduk hanya sekitar lima juta jiwa
dengan luas negara lebih besar dari pulau Jawa, berkontur danau, rawa
dan hutan yang sangat luas dengan iklim musim dingin yang sangat
panjang. Pada suhu -20° C penduduknya masih bekerja menebang dan
mengangkut kayu di hutan. Mereka yang tinggal di kota pergi bekerja
dengan bis yang bersuhu -25° C setelah dihangati, sementara suhu luar
mencapai -40° C, dinginnya bukan kepalang. Di musim dingin ini pun
matahari jarang terlihat. Semua orang harus berpikir dan bekerja keras
untuk mengantisipasi kerasnya alam tempat mereka hidup, dan berkaitan
dengan itu jaminan sosial bagi rakyatnya sangat dipentingkan. Walaupun
mencapai kemakmuran, jumlah penduduk di negara-negara skandinavia ini
tidak serta-merta bertambah. Di Cina, pemerintahnya menerapkan kebijakan
Satu Anak yang sangat ketat dengan denda yang berat apabila dilanggar.
Walaupun banyak terimplikasi masalah hak azasi manusia, program KB di
Cina terbilang sukses. Setelah ekonominya berhasil diperkuat, sekarang
diperbolehkan untuk memiliki dua anak, bahkan negara memberi tunjangan,
asalkan ayah dan ibunya sama-sama sarjana berpendidikan tinggi. Mereka
diharapkan bisa menghasilkan generasi baru yang unggul.
Usulan
Langkah
efektif untuk menyelamatkan sebuah perusahaan yang terancam bangkrut
selain penambahan investasi adalah perampingan jumlah karyawan, ibarat
perusahaan yang sakit dan sulit menambah investasi, Indonesia perlu
menekan laju pertumbuhan penduduknya dan membenahi dulu apa yang ada.
Ini sangat krusial diterapkan khususnya di wilayah yang padat penduduk.
Dengan tingginya jumlah penduduk dan problem sosial yang mengiringinya,
sebaiknya kita berusaha mengutamakan peningkatan kualitas daripada
kuantitas manusia.
Ada
baiknya bila pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana dengan
motto "Satu Anak Cukup" serta menggalakkan pembangunan ke daerah tak
padat populasi untuk merangsang minat bertransmigrasi dan menjamin
keberhasilannya. Kemakmuran yang merata akan berdampak pada pengurangan
potensi pertentangan budaya dan etnis yang sering terjadi. Dengan
penyebaran dan pertumbuhan penduduk yang terkontrol disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi yang terbatas diharapkan pemerintah pun bisa lebih
mudah memperbaiki kualitas pendidikan nasional. Bila ini terwujud, dalam
waktu tidak lama hasilnya bisa kita lihat, berupa pemerataan lapangan
kerja dan kemajuan di berbagai bidang. Tidak akan ada lagi manusia yang
melihat manusia yang lain sebagai manusia kelas rendahan atau sekedar
pemandangan. Masyarakat bisa lebih memperhatikan kualitas hidup yang
bukan diukur dari jumlah uang, anak-anak bisa leluasa bermain dan
belajar, memperhatikan keserasian lingkungan hidup serta kreatif
mengembangkan kebudayaan. Unit-unit usaha bisa berjalan dengan kinerja
yang membanggakan. Ekspor Tenaga Kerja Indonesia tidak lagi mengandalkan
tenaga kerja rendah kompetensi yang sering menyebabkan masalah
perlakuan buruk di negeri asing, melainkan tenaga ahli yang mampu
membawa nama harum bangsa, bahkan tidak mustahil kita bisa menjadi salah
satu pemain vital dalam perekonomian dunia. Dan tidak akan ada lagi
gurauan bahwa satu-satunya keahlian bangsa Indonesia adalah memproduksi
anak.
SUMBER: http://teija.multiply.com/journal/item/13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar