Peraturan dan Regulasi
Perkembangan teknologi yang
sangat pesat, membutuhkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi tersebut. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara belum memiliki
perundang-undangan khusus di bidang teknologi informasi, baik dalam aspek pidana
maupun perdatanya.
Saat ini telah lahir hukum baru
yang dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Atau cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang
merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan
hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi
informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law),
dan hukum mayantara.
Di Indonesia, sudah ada UU ITE,
UU No. 11 tahun 2008 yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektonik,
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk
perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara
Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar
wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun
warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang
memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi
untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas
teritorial atau universal.
REGULASI KONTEN
Semakin banyaknya Munculnya
beberapa kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu kredit,
hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya email, dan
memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak dikehendaki ke
dalam programmer komputer. Maka dibuatnya sebuah regulasi konten
1. Keamanan nasional
·
instruksi pada pembuatan bom, produksi obat/racun
tidak sah, aktivitas teroris
2. protection of minors(Perlindungan pelengkap)
·
abusive forms of marketing
·
violence
·
pornography
3. Protection of human dignity(Perlindungan martabat
manusia)
·
hasutan kebencian rasial
·
diskriminasi rasial
4. keamanan ekonomi
·
penipuan
·
instructions on pirating credit cards
·
scam, cybercrime
5. Keamanan indormasi
·
Cybercrime
·
Phising
6. Protection of Privacy
7. Protection of Reputation
8. Intellectual Property
Perlunya Peraturan dalam Cyberlaw
Sebagai orang yang sering
memanfaatkan internet untuk keperluaan sehari-hari sebaiknya kita membaca
undang-undang transaksi elektronis yang telah disyahkan pada tahun 2008. Undang
undang tersebut dapat didownload dari website www.ri.go.id yang linknya di
sini. Kita dapat langsung membaca bab VII yang mengatur tentang tindakan yang
dilarang.
Permasalahan yang sering muncul
adalah bagaimana menjaring berbagai kejahatan komputer dikaitkan dengan
ketentuan pidana yang berlaku karena ketentuan pidana yang mengatur tentang
kejahatan komputer yang berlaku saat ini masih belum lengkap.
Banyak kasus yang membuktikan
bahwa perangkat hukum di bidang TI masih lemah. Seperti contoh, masih belum
dilakuinya dokumen elektronik secara tegas sebagai alat bukti oleh KUHP. Hal
tersebut dapat dilihat pada UU No8/1981 Pasal 184 ayat 1 bahwa undang-undang
ini secara definitif membatasi alat-alat bukti hanya sebagai keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa saja. Demikian juga
dengan kejahatan pornografi dalam internet, misalnya KUH Pidana pasal 282
mensyaratkan bahwa unsur pornografi dianggap kejahatan jika dilakukan di tempat
umum.
Hingga saat ini, di negara kita
ternyata belum ada pasal yang bisa digunakan untuk menjerat penjahat
cybercrime. Untuk kasuss carding misalnya, kepolisian baru bisa menjerat pelaku
kejahatan komputer dengan pasal 363 soal pencurian karena yang dilakukan
tersangka memang mencuri data kartu kredit orang lain.
UU TELEKOMUNIKASI DALAM MENGATUR PENGGUNAAN TEKNOLOGI
INFORMASI (UU ITE)
Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan
Teknologi Informasi
Didalam UU No. 36 telekomunikasi
berisikan sembilan bab yang mengatur hal-hal berikut ini ; Azas dan tujuan
telekomunikasi, pembinaaan, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sanksi
administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
Undang-Undang ini dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, karena diperlukan penataan dan pengaturan kembali
penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang dimana semua ketentuan itu telah
di setujuin oleh DPRRI.
UU ini dibuat karena ada beberapa
alasan, salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan
teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan perubahan yang
mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi.Dengan
munculnya undang-undang tersebut membuat banyak terjadinya perubahan dalam
dunia telekomunikasi, antara lain :
1.Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya
terbatas pada lingkup
telekomunikasi itu saja, melainkan sudah berkembang pada TI.
3.Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut untuk
mengikuti norma dan
kebijaksanaan yang ada di Indonesia.
Apakah ada keterbatasan yang
dituangkan dalam UU no.36 Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan
teknologi Informasi. Maka berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan
mengenai batasan-batasan yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan
teknologi informasi tersebut, artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan
yang secara resmi dapat membatasi penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun
akan lain ceritanya jika kita mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan
teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik
yang dapat dilihat secara virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang
Perbuatan yang Dilarang. Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi
dan komunikasi harus lebih bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan
teknologi ini dengan memperhatikan peraturan dan norma yang ada.
Sebagai contohnya saya akan berikan kasus yang di dalamnya
terdapat keterbatasan UU Telekomunikasi dalam mengatur penggunaan Teknologi
Informasi (UU ITE):
Sekarang kita tahu maraknya
carding atau pencurian kartu kredit diinternet berasal dari Indonesia, hal ini
memungkinan Indonesi adipercaya oleh komunitas ´trust´ internasional menjadi
sangat kecil sekali. Dengan hadirnya UU ITE, diharapkan bisa mengurangi
terjadinya praktik carding di dunia maya. Dengan adanya UU ITE ini, para
pengguna kartu kredit di internet dari negara kita tidak akan di-black list
oleh toko-toko online luar negeri. Sebab situs-situs seperti www.amazon.com
selama ini masih mem-back list kartu-kartu kredit yang diterbitkan
Indonesia,karena mereka menilai kita belum memiliki cyber law. Nah dengan
adanya UU ITE sebagai cyber law pertama di negeri ini,negara lain menjadi lebih
percaya atau trust kepada kita Dalam Bab VII UU ITE disebutkan: Perbuatan yang
dilarang pasal27-37, semua Pasal menggunakan kalimat, ´Setiap orang…
danlain-lain.´ Padahal perbuatan yang dilarang seperti: spam,penipuan,
cracking, virus, flooding, sebagian besar akan dilakukan oleh mesin olah
program, bukan langsung oleh manusia. Banyak yang menganggap ini sebagai suatu
kelemahan, tetapi ini bukanlah suatu kelemahan. Sebab di belakang mesin olah
program yangmenyebarkan spam, penipuan, cracking, virus, flooding atau tindakan
merusak lainnya tetap ada manusianya, the man behindthe machine.Jadi kita tak
mungkin menghukum mesinnya, tapiorang di belakang mesinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar